Pulauku Nol Sampah: Dari Tumpukan Sampah Hingga Menjadi Energi Baru
Pagi hari di Pelabuhan Muara Angke selalu ramai oleh lalu lintas kapal, bahkan sebelum mentari muncul di ufuk timur. Pada akhir pekan panjang, banyak warga Jakarta memilih berlibur ke Kepulauan Seribu, termasuk ke Pulau Pramuka, destinasi yang menjadi favorit. Kapal biasanya mulai berangkat sekitar pukul tujuh pagi, namun penumpang rela datang jauh lebih awal demi mendapat tempat yang nyaman. Dari sinilah perjalanan menuju keindahan Pulau Pramuka bermula.
Namun, di tengah pesona laut biru, pemandangan yang tak
sedap mata kerap menyambut. Tumpukan sampah terapung seolah menari di atas
permukaan air. Banyak yang menganggapnya hal biasa, tetapi bagi sebagian orang,
termasuk saya, kondisi ini adalah tanda masalah serius. Sampah yang mengambang
akan mengikuti arus dan angin, berpindah dari satu titik ke titik lain hingga
akhirnya terdampar di pulau-pulau sekitar. Di antara “penumpang tak diundang”
itu, sebagian besar berakhir di Pulau Pramuka, dikenal sebagai sampah
kiriman dari Jakarta.
Kiriman yang Menjadi Bencana
Hujan sering disebut berkah, tapi di Jakarta, curah hujan
tinggi sering kali membawa bencana. Ketika musim penghujan tiba, air sungai
meluap dan membawa serta ton-ton sampah dari wilayah hulu hingga ke Pesisir.
Sungai Ciliwung misalnya, menyumbang hingga 60 persen sampah yang akhirnya
sampai ke Kepulauan Seribu, termasuk Pulau Pramuka.
Pada banjir besar tahun 2009, pulau ini sempat kewalahan
menerima limpahan sampah plastik dari Jakarta. Selain menghadapi ancaman
abrasi, mereka juga harus berjuang melawan gempuran limbah laut yang menutupi
pantai dan merusak ekosistem. Mangrove mati, biota laut terganggu, dan hasil
tangkapan nelayan menurun drastis. Krisis ekonomi pun tak terhindarkan. Pulau
Pramuka seperti menerima dua bencana sekaligus abrasi dan kiriman sampah yang
menyakitkan meski tak berdarah.
![]() |
Sampah Kiriman Dari Jakarta (sumber; Instagram rumahliterasihijau_id) |
Namun, dari keterpurukan itu muncul kesadaran. Warga mulai
berpikir: sampai kapan mereka harus menanggung beban kiriman sampah?
Lahirnya Gerakan “Pulauku Nol Sampah”
Kesadaran itu menumbuhkan gerakan perubahan. Salah satu
tokoh inspiratif, Mahariah, menggagas sebuah inisiatif bernama Pulauku Nol
Sampah, bagian dari program Kampung Berseri Astra (KBA). Program ini
tidak hanya fokus membersihkan pantai, tetapi juga mengubah sampah menjadi
sumber daya baru melalui kegiatan daur ulang dan pemberdayaan masyarakat.
KBA sendiri merupakan bentuk tanggung jawab sosial Astra
Group yang berfokus pada empat pilar utama: pendidikan, kesehatan, lingkungan,
dan kewirausahaan. Di Pulau Pramuka, keempat aspek ini diintegrasikan agar
masyarakat bisa mandiri sekaligus menjaga kelestarian alamnya.
![]() |
Gerakan Pulauku Nol Sampah (sumber; Instagram rumahliterasihijau_id) |
Perjuangan yang Tak Mudah
Layaknya perubahan di mana pun, inisiatif ini awalnya tidak
mudah diterima. Sebagian warga sempat salah paham, mengira Mahariah hanya
mencari keuntungan pribadi. Banyak pula yang enggan memilah sampah rumah tangga
karena belum terbiasa. Namun Mahariah tetap sabar. Dengan latar belakangnya
sebagai guru Madrasah Ibtidaiyah, ia menghadapi setiap penolakan dengan
ketenangan dan ketulusan.
Usahanya membuahkan hasil pada tahun 2014 ketika sekelompok
pemuda dari komunitas Variabel Bebas datang membantu. Kolaborasi ini
memperluas kegiatan lingkungan seperti daur ulang plastik menjadi kerajinan
tangan bernilai jual, penanaman mangrove, rehabilitasi terumbu karang, hingga
pelatihan sistem hidroponik. Perlahan, skeptisisme warga berubah menjadi
semangat partisipasi—karena mereka mulai melihat manfaat ekonomi dari
pengelolaan sampah.
![]() |
Mahariah (sumber; Instagram rumahliterasihijau_id) |
Gerakan Rumah Tangga Ramah Lingkungan
Pada 2015, hanya sembilan keluarga yang aktif dalam gerakan
ini. Namun, dalam waktu singkat jumlahnya meningkat menjadi empat puluh
keluarga. Mereka tidak hanya memilah sampah dari rumah masing-masing, tetapi
juga mengolahnya bersama KBA.
Setiap rumah dilengkapi dua wadah sampah, organik dan
anorganik, yang dibuat dari kaleng bekas dan dihias menarik agar warga
termotivasi memilah sampah. Sampah plastik yang terkumpul disetor ke bank
sampah, di mana setiap kilogram memiliki nilai tabungan. Misalnya, botol
plastik dihargai Rp4.000/kg dan gelas plastik Rp6.000/kg. Hasilnya bisa
digunakan untuk biaya sekolah, kesehatan, atau kebutuhan keluarga lainnya.
Sementara itu, sampah organik diolah menjadi kompos dengan
metode komposter ember tumpuk, sehingga tidak ada limbah yang terbuang
sia-sia.
![]() |
Pemilahan sampah (sumber; Instagram rumahliterasihijau_id) |
Edukasi Lingkungan Sejak Dini
KBA Pulau Pramuka juga menanamkan kesadaran lingkungan
kepada anak-anak. Melalui RA Fahman Jayyidan dan Rumah Literasi Hijau,
mereka mengenalkan konsep menjaga alam sejak usia dini lewat kegiatan seperti
lomba mewarnai bertema lingkungan pada Hari Peduli Sampah Nasional dan kelas
iklim yang mengajarkan anak-anak mengenal jenis plastik serta ekosistem
laut secara menyenangkan.
![]() |
Belajar mengolah sampah sejak dini (sumber; Instagram rumahliterasihijau_id) |
Inovasi Teknologi: Lab Plastik Pengubah Sampah Jadi Energi
Salah satu terobosan besar dari program ini adalah Laboraturium Plastik, pusat inovasi yang mengubah sampah menjadi bahan bakar melalui
teknologi pirolisis, yaitu proses pemanasan plastik tanpa oksigen untuk
menghasilkan minyak mirip solar, gas propana, dan residu padat yang bisa
dijadikan pupuk.
Keberhasilan lab ini membuktikan bahwa pengelolaan sampah
tak harus berakhir di tempat pembuangan, melainkan bisa menjadi sumber energi
baru. Tak heran jika banyak pihak kemudian menaruh perhatian terhadap gerakan
“Pulauku Nol Sampah”.
Kini, perjuangan Mahariah dan masyarakat Pulau Pramuka
berbuah hasil nyata. Dari yang awalnya menjadi korban bencana sampah kiriman,
mereka bertransformasi menjadi pelopor pengelolaan sampah berkelanjutan. Sampah
tak lagi menjadi masalah, tetapi sumber manfaat—tabungan warga, bahan bakar
alternatif, dan simbol kemandirian lingkungan.
Gerakan ini membuktikan satu hal: ketika masyarakat bersatu
dan mau berubah, bahkan bencana sekalipun bisa disulap menjadi berkah.
![]() |
Teknologi Pirolisis (sumber; Instagram rumahliterasihijau_id) |
Komentar
Posting Komentar